Diantara berbagai
masalah terbesar pada usia lanjut yaitu
demensia...
Demensia sangat
berkembang pesat pada daerah berkembang, diperkirakan pada tahun 2040 mencapai
81,1 juta jiwa. Hal ini didukung oleh pertumbuhan lansia yang sangat cepat di
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sebelum saya membahas
tentang penanganan pada demensia saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang
disebut dengan demensia dan usia lanjut.
Demensia adalah
istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan suatu kehilangan daya ingat, daya
pikir, rasionalitas, kepandaian bergaul dan apa yang disebut sebagai reaksi
emosi normal. Demensia, termasuk penyakit Alzheimer yang mempengaruhi daya
ingat, berpikir, berperilaku dan emosi.
Demensia adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala
sekelompok besar penyakit yang menyebabkan penurunan fungsi seseorang secara
cepat. Kebanyakan penderita demensia
berusia lanjut, tetapi bukan bagian normal dari proses penuaan. Demensia dapat
terjadi pada siapa saja, tetapi lebih umum setelah orang berumur 65 tahun.
Orang pada usia 40-an dan 50-an dapat juga terkena demensia.
Ada beberapa bentuk demensia
yang paling terkenal adalah alzheimer. Tanda-tanda awal demensia sangat tidak
kentara dan samar-samar dan mungkin tidak segera menjadi jelas.
Alzheimer's Indonesia
membagikan tentang 10 gejala umum Demensia Alzheimer. Jika anggota keluarga
Anda menunjukkan gelaja-gejala berikut, segera konsultasikan kepada dokter.
- Gangguan daya ingat: Sering lupa akan kejadian yang baru saja terjadi, lupa janji, menanyakan dan menceritakan hal yang sama berulang kali, lupa tempat parkir di mana (dalam frekuensi tinggi).
- Sulit fokus: Sulit melakukan aktivitas, pekerjaan sehari-hari, lupa cara memasak, mengoperasikan telepon, ponsel, tidak dapat melakukan perhitungan sederhana, bekerja dengan waktu yang lebih lama dari biasanya.
- Sulit melakukan kegiatan yang familiar: Seringkali sulit untuk merencanakan atau menyelesaikan tuga sehari-hari, bingung cara mengemudi, sulit mengatur keuangan.
- Disorientasi: Bingung akan waktu (hari/tanggal/hari penting), bingung di mana mereka berada dan bagaimana mereka sampai di sana, tidak tahu jalan pulang kembali ke rumah.
- Kesulitan memahami visuospasial: Sulit untuk membaca, mengukur jarak, menentukan jarak, membedakan warna, tidak mengenali wajah sendiri di cermin, menabrak cermin saat berjalan, menuangkan air di gelas namun tumpah dan tidak tepat menuangkannya.
- Gangguan berkomunikasi: Kesulitan berbicara dan mencari kata yang tepat, seringkali berhenti di tengah percakapan dan bingung untuk melanjutkannya.
- Menaruh barang tidak pada tempatnya: Lupa di mana meletakkan sesuatu, bahkan kadang curiga ada yang mencuri atau menyembunyikan barang tersebut.
- Salah membuat keputusan: Berpakaian tidak serasi, misalnya memakai kaos kaki kiri berwarna merah, kaos kaki kanan berwarna biru, tidak dapat memperhitungkan pembayaran dalam bertransaksi dan tidak dapat merawat diri dengan baik.
- Menarik diri dari pergaulan: Tidak memiliki semangat ataupun inisiatif untuk melakukan aktivitas atau hobi yang biasa dinikmati, tidak terlalu semangat untuk berkumpul dengan teman-temannya.
- Perubahan perilaku dan kepribadian: Emosi berubah secara drastis, menjadi bingung, curiga, depresi, takut atau tergantung yang berlebihan pada anggota keluarga, mudah kecewa dan putus asa baik di rumah maupun dalam pekerjaan.
Setelah mengetahui
tentang demensia, pastinya kita akan mencari bagaimana cara untuk menanganinya.
Penangan demensia dapat dengan menggunakan terapi farmakologis ataupun
nonfarmakologis. Pengobatan alzheimer ada yang berupa farmakologi atau biasa
disebut dengan obat-obatan, dan pengobatan non farmakologi. Akan tetapi,
pengobatan farmakologi ini masih berkembang. Artinya, belum ada obat-obatan
yang benar-benar bisa menyembuhkan demensia alzheimer karena obat-obatan yang ada
sifatnya hanya menunda gejala menjadi lebih buruk lagi. Hal ini disampaikan
oleh dokter departemen saraf RSCM, dr. Taufik Mesiano (34), di tempat
praktiknya poli saraf RSCM, Jakarta.
Selain farmakologi,
ada juga terapi-terapi non farmakologi. Hal pertama yang bisa dilakukan oleh
diri sendiri, misalnya jika sering mengalami lupa bisa menulis agenda yang akan
mengingatkan kita.
Terapi lain disebut
terapi rekreasi. Otak juga ada saatnya perlu istirahat, tidak monoton bekerja
terus. Maka, kita menggunakan hari libur, misalnya Sabtu dan Minggu, untuk
berekreasi. Dengan stimulasi rekreasi ada hormon endorfin yang makin meningkat,
yang akan membuat otak kita nyaman. Dengan begitu, ketika kembali bekerja pada Senin, otak kita akan lebih
mudah dalam menerima informasi baru. Terapi rekreasi (terapi non farmoakologis)
sangat digemari di negara maju sekarang ini. Tujuan terapi rekreasi ini
memberikan stimulasi yang tepat, relaksasi, rekreasi secara aktif dan
kesempatan bergerak pada lansia. Terapi ini dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita demensia.
dr. Neng Silvia Carolina